Kecewa
Sudah satu tahun aku menjajaki masa SMA. Kata orang, masa SMA adalah
masa terindah. Dimana kisah kasih terjalin bahagia di masa ini. Kisah
asik dan unik persahabatan akan terasa disini. Mungkin benar bagi
sebagian orang. Bagiku, entahlah… aku tak merasakan sesuatu yang spesial
di masa ini. Sama saja. Sama ketika aku memulai sekolah dari TK, SD,
SMP, hingga menjajaki masa ini.
Aku mempunyai teman. Bahkan bisa dikatakan banyak. Akan tetapi tak
ada yang bisa menjadi pendengar setia seperti buku harianku. Tak ada
yang bisa dijadikan tempat ternyaman ketika aku menangis seperti
kasurku. Tak ada yang selalu disampingku ketika aku butuh pelukan selain
gulingku. Aku banyak mempunyai teman, tetapi bukan sahabat. Aku banyak
menemukan pria baik yang mengatakan dia menyukaiku, tetapi tak ku terima
sebagai kekasihku.
Aku tertutup? Tidak! Kata teman-temanku aku friendly, supel, smiles
readily, and sooo simple. Kalian boleh bertanya kenapa aku tidak bisa
semudah membalikkan telapak tangan menganggap seseorang menjadi sahabat
ketika seorang teman berlaku baik denganku. Kalian juga boleh
menerka-nerka, mengapa aku tidak mudah menerima seorang pria baik untuk
dijadikan sandaran hati. Jawabannya simple. Baik bukan berarti dia
tulus. Aku tidak mencari orang baik, tetapi aku mencari orang tulus.
“Gue bener-bener suka sama lo Fris”, Riko menunduk. Dia mematung
disampingku. ini bukan yang pertama kalinya aku mengalami seperti ini.
Menolak cinta dari seorang pria yang tak bersalah.
“Gue masih nggak mau pacaran Rik”, Aku menarik napas. Kulihat gurat kekecewaan di wajah Riko.
“Maafin gue ya Fris. Gue cuman mau lo itu tau kalo gue tulus. Tapi
sepertinya gue nggak bisa membantah komitmen lo yang belum mau pacaran.
Gue berkali-kali nembak lo dan nggak pernah lo terima. Gue nggak pernah
kecewa kok Fris. Gue cuman bisa doa, biarlah cinta di dalam hati lo
datang dengan sendirinya karena terbiasa”, Riko berusaha tersenyum.
Mungkin hatiku sudah sekeras batu, nggak pernah sama sekali luluh dengan
sikap rendah hati si Riko yang sudah berkali-kali nembak aku.
Sejak saat itu, Riko tak pernah lagi mengutarakan perasaannya
kepadaku. Saat ini, aku sudah kelas XII. Sungguh sama sekali bukan
kejutan kalau aku tidak pernah mempunyai pacar di sekolah ini. Tak apa,
bukan urusanku dan bukan urusan kalian. Akan tetapi, seperti ada
perasaan aneh ketika Riko tak pernah mengatakan sesuatu itu lagi padaku.
Ada perasaan kehilangan? Entahlah. Mungkin.
Hari ini Ujian Nasional telah berakhir. Akhirnya beban yang ada di
kepala ini terlepas sudah. Aku ingin cepat-cepat segera pulang untuk
tidur seharian di rumah. Saat aku menghampiri motorku yang ada di
parkiran sekolah, aku mendapati sosok Riko disana.
“Friska…”
“Ya?”
“Gue minta maaf ya kalo selama ini gue banyak salah sama lo”
“Banyak salah apa? Nggak ada kok Rik. Santai aja”
“Ya udah, makasih kalo gitu ya Fris”, Riko tersenyum. Dia mengulurkan
tanganya. Dengan sedikit ragu aku menyambut salamannya. Aku merasakan
tangannya dingin. Salaman yang tak lazim pada umumnya. Salaman Riko
sangat erat. Dia meremas tanganku begitu kencang namun tetap berusaha
untuk tidak menyakitiku. Salaman itu berlangsung sekitar tiga puluh
detik, matanya tak lepas dari wajahku. Ah, aku menjadi risih. Salah
tingkah.
“Ah maaf, Friska…” Riko melepaskan genggamannya. Dia langsung menunduk, membuang muka, seraya berlalu pergi.
“Rik”, Refleks aku memanggil Riko. Aku menutup mulutku, seakan menyesali apa yang telah kulakukan.
“Ya?”, Riko menoleh. Masih dengan pandangan yang sama ketika dia memandangku ketika bersalaman tadi.
“Aku juga minta maaf ya”, Aku tersenyum pada Riko, dibalas dengan senyum manis Riko. Riko berlalu meninggalkanku.
Aku memegang tangan kananku yang tadinya dalam genggaman Riko. Aku tersenyum.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur terempukku. Rasanya lelah
sekali setelah menguras otak selama 4 hari ini. tiba-tiba di tengah
lamunanku, aku teringat ketika Riko menyalami tanganku. Rasanya aku
ingin mengulang detik-detik itu. Aku tak tahu perasaan apa ini. Apakah
aku sudah mulai jatuh cinta pada lelaki itu? Tidak mungkin kalau
menurutku.
Aku mencoba memejamkan mata untuk menghilangkan penat yang ada
dipikiranku. Selang beberapa saat, aku sudah berada di dunia mimpiku.
Tengah kudapati Riko berjalan membelakangiku. Aku memanggilnya berulang
kali namun tak digubrisnya sampai bayangan itu hilang dari indera
penglihatanku.
Mataku kembali terbuka. Aku mencoba mengumpulkan ingatanku. Mimpi
itu. Riko. Riko yang membangunkanku dari tidurku. Ah, aku benci jika
harus seperti ini. Inikah jatuh cinta? Aku membenci jatuh cinta jika
begini jadinya. Aku terjaga dari keterlelapanku hanya karena mimpi
seperti itu. Pikiranku tak bisa berpikir jernih bila Riko memenuhi
dinding pikiranku. Aku tersenyum sendiri saat melihat tangan kanan yang
pernah dalam genggaman Riko. Aku benci jatuh cinta jika seperti ini
jadinya! Aku mesti mengambil tindakan cepat. Aku harus menjauhkan
perasaan ini secepatnya!
Aku sangat bersyukur perasaan ini muncul setelah Ujian Nasional
berakhir. Jadi, aku tak akan bertemu dengan Riko setiap hari. Mungkin
ini akan mempercepat proses melupakannya. Aku jadi ingat ketika betapa
jahatnya aku menolak dan jual mahal kepada Riko ketika dia menembakku.
Aku pun tak ingat berapa kali dia mencoba, mencoba, dan tak pernah jera
menyatakan perasaannya kepadaku.
—
Ada yang merusak pemandangan di pandangan mataku. Riko sedang
berjalan berdua dengan Bella di gramedia yang kini tengah kukunjungi.
Terlihat jelas dipandangan mataku mereka begitu hangat dan akrab.
Kulihat Bella tertawa renyah saat bercanda dengan Riko. Aku jengah
melihatnya. Ingin sekali kutampar Riko. Tapi apa hakku? Aku bukan
kekasihnya. Bukankah aku yang menolaknya kemarin-kemarin? Aku merasa
kecewa. ternyata Riko tak akan memperjuangkan perasaannya lagi padaku.
Aku bersegera untuk segera bergegas pulang. Aku tak ingin sosokku
dilihat oleh Riko. Aku tak ingin Riko melihat gurat kekecewaan di
wajahku. Pemandangan itu cukup menyayat hatiku. Aku harus melupakan
Riko. Harus. Dia sudah berhenti memperjuangkan aku. Sungguh lucu jika
aku yang harus melanjutkan perjuangannya agar cinta kami bisa bersatu.
—
Hari ini adalah hari perpisahan di sekolah kami. Aku berjanji, hari
ini adalah hari terakhir aku bertemu dengan sosok Riko. Mama Nampak
berhati-hati memoles wajahku yang jarang menggunakan make up. Aku tidak
sabar bagaimana nanti bentuk wajahku yang menggunakan make up. Aku
berharap aku bisa tampil secantik mungkin di hari pertemuan terakhir
kami ini.
Acara perpisahan berakhir sukses dan mengharukan. Aku
bersalam-salaman dan berpelukan kepada teman-temanku. Hingga sosok Riko
muncul dihadapanku.
“Fris”, Lelaki itu Nampak mengulurkan tangannya. Segera aku mengulurkan
tanganku untuk membalas salamannya, namun tak selama seperti kemarin
selesai UN. Aku segera melepaskan genggaman tangannya dan segera berlalu
pergi.
“Friska…” Riko mengejarku dan kembali berdiri dihadapanku.
“Apa lagi sih?”
“Ini…” Riko menyodorkan sebungkus kado padaku.
“Apaan sih?” Aku menyilangkan kedua tangan di dadaku. Berusaha tak peduli pada Riko.
“Kenang-kenangan” Katanya menunduk.
“Kenang-kenangan? Apa lo pantas gue kenang? Nggak kan?”
“Mungkin aja kan setelah ini kita gak bakal ketemu lagi?”
“Haha. Iya. Nggak bakalan ketemu lagi kok. Lo kan udah punya yang baru. Ngapain lo ketemuin gue lagi? Haha”
“Maksud lo yang baru apa sih Fris?”
“Lo nggak nyadar?” Aku mengernyitkan dahi. Mengambil sodoran bingkisan
yang masih di tangan Riko, lalu membuangnya jauh ke tengah jalan raya.
“Yang baru, BELLA!”, Kataku menekankan kata Bella di kalimatku seraya
berlalu pergi meninggalkan Riko pergi. Riko tak langsung mengejarku. Dia
berbalik berlawanan arah dariku. Sepertinya dia ingin memungut
bingkisan itu. Dan… bunyi yang keras sungguh membisingkan telingaku. Aku
berbalik arah, ingin melihat apa yang menyebabkan bunyi yang
mengejutkan itu. Sungguh pemandangan mengharukan. Riko.
Kubaringkan Riko dipahaku. Aku menangis sejadinya. Kepala Riko penuh
darah. Dia tertabrak truk yang melintas di depannya ketika Riko berusaha
mengambil bingkisan yang ku buang.
“Bella kemarin yang menemaniku mencari hadiah yang ada di bingkisan ini
s..say..yang”, Riko membelai lembut pipiku. Tangannya tak sehangat tadi
ketika tangannya dan tanganku saling berjabat. Dingin. Aku terkejut
mendengar ungkapan itu. Ternyata aku salah paham dengan yang aku lihat
kemarin. Riko memejamkan matanya. Dia menghembuskan nafas terakhirnya
dipangkuanku.
—
Aku membuka bingkisan dari Riko. Isinya boneka dan tape recorder. Di
tangan boneka itu, ada sebuah kaset. Aku mencoba memasukkan kaset itu ke
dalam tape recorder.
“Untuk Friska widyanti… makasih ya udah terima hadiahnya. Makasih banyak
udah nyentuh bonekanya. Maaf ya kalau lo tidak suka. Inipun milihnya
udah minta pilihin sama cewek biar pas gitu seleranya hehe. Oh iya,
meskipun sayang gue nggak pernah lo terima, boleh dong boneka ini lo
terima. Meskipin gue nggak pernah bisa nempatin posisi terbaik di hati
lo, boleh dong kalo boneka ini nempatin posisi terbaik di kamar elo.
Hehe. Makasih ya Fris, udah mau menerima kadonya. Bukan maksud untuk
mengejar dan meminta perhatian kamu kok, cuman buat kenang-kenangan aja.
Kali aja habis ini kita nggak bisa ketemu lagi. Ya kan? Hehe. Udah dulu
ya Fris, takutnya gendang telinga lo rusak kepanjangan denger rekaman
suara gue. Hahaha. El o ve e ye o u”
Air mataku mengalir deras. Aku kecewa. akan tetapi aku tak tahu harus
kecewa kepada siapa. Aku ingin kecewa kepada Riko yang terlalu cepat
beranjak dari kehidupanku. Aku ingin kecewa pada Riko yang tak bisa lagi
menyambut hatiku. Akan tetapi, aku juga kecewa kepada diriku sendiri
yang terlalu tinggi hatinya selama ini mengabaikan perasaan Riko. Aku
kecewa. namun harus kulampiaskan pada siapa? Sekarang aku hanya sendiri.
Ditemani oleh kecewa yang tak bertepi.
Cerpen Karangan: Mutia
Blog: http://thiaputra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar